Artikel BPSDM

Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) Sebuah Tuntutan atau Menggugurkan Kewajiban


 

Oleh :

Arie Cahyono, SSTP, MSi

Widyaiswara Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur

Champions Gender Nasional

 

Pendahuluan

Pembangunan dewasa ini mempunyai salah satu tujuan diantaranya adalah menuju kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dengan meningkatkan keadilan dan kesetaraan gender pada setiap sektor pembangunan. Akan tetapi masalah ketidakadilan gender ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, tingginya tindak kekerasan terhadap Perempuan yang diukur dengan angka Indeks Pembangunan Gender (Gender-related Development Index atau GDI) dan angka Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Index atau GEM). Selayaknya memang pelaksanaaan pembangunan harus memperhatikan keadilan gender menjadi salah satu syarat untuk mencapai hasil pembangunan yang adil gender dan membawa manfaat baik bagi laki-laki maupun perempuan. Salah satu syarat untuk mencapai pembangunan yang memperhatikan keadilan gender adalah adanya analisis gender terhadap masing-masing program pembangunan yang dilaksanakan di semua sektor pembangunan. Analisis ini hanya dapat dilaksanakan apabila para perancang program dan para pengambil keputusan memahami tentang keadilan gender dan penerapannya dalam program-program pembangunan serta selalu mengikuti isu-isu gender terbaru dalam masyarakat yang terus berkembang. Pada tataran masyarakat juga mensyaratkan ketersediaan data yang dirinci menurut jenis kelamin dan kelompok umur, termasuk data dan statistik anak dengan analisis berdasarkan konteks perkembangan masing-masing wilayah.[1]

Namun demikian manfaat hasil-hasil pembangunan di Indonesia belum dapat dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia. Berbagai bentuk ketimpangan atau kesenjangan yang ada, menjadi halangan bagi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat untuk turut menikmati hasil pembangunan dari program pemerintah daerahnya. Ketimpangan terjadi pada berbagai kelompok masyarakat, termasuk diantaranya ketimpangan antar-wilayah, antar kelompoksosial-ekonomi serta antar-jenis-kelamin. Salah satu bentuk ketimpangan yang banyak mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun di kalangan internasional, adalah ketimpangan antar-jenis-kelamin atau kesenjangan gender. Berbagai indikator dan indeks terkait kesenjangan gender sudah tersedia untuk mengukur besar kecilnya kesenjangan gender yang terjadi pada suatu wilayah atau pada sektor pembangunan. Kesenjangan gender terjadi pada berbagai aspek/sektor pembangunan, seperti politik, ekonomi aspek sosial budaya (Badan Pusat Statistik, 2014). Kesenjangan gender pada bidang politik terlihat dari keterwakilan perempuan di DPR atau DPRD, sedangkan pada bidang ekonomi terlihat dari perbedaan upah serta sebaran tenaga kerja perempuan dan laki-laki. Pada bidang politik, misalnya, keterwakilan perempuan dalam DPR hasil pemilihan umum tahun 2009 hanya sekitar 18,60 persen atau jauh dari porsi mereka dalam populasi. Proporsi keterwakilan perempuan ini menurun pada pemilihan legislatif tahun 2014, menjadi 17,30 persen. Pada bidang ekonomi terdapat kesenjangan gaji/upah tenaga kerja perempuan dengan laki-laki dengan rasio gender sekitar 74.75 persen di sektor pertanian dan 76.43 persen di sektor non-pertanian.[2]

Sementara itu pada sektor pendidikan, peran perempuan dalam posisi pengambil keputusan jauh lebih rendah dari laki-laki. Hal ini ditunjukkan dalam proporsi kepala sekolah perempuan dan laki-laki, dimana semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin rendah proporsi kepala sekolah perempuannya. Pada tingkat Sekolah Dasar, proporsi kepala sekolah perempuan mencapai 35,48 persen. Angka ini menurun pada jenjang SMP dengan proporsi 15,94 persen dan terus menurun pada jenjang setingkat SMA menjadi 12,23 persen. Dibandingkan dengan negaranegara lain, Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki ketimpangan gender tinggi dan masuk dalam kelompok Medium Human Development Group . Pada tahun 2013, nilai Indonesia dalam Indeks Kesenjangan Gender (Gender Inequality Index) adalah 0.500 atau berada diantara Cambodia dengan angka 0.505. dan Bhutan dengan indeks 0.495 (UNDP, 2014). Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-103 dari 187 negara yang didata.

Menyadari hal ini Pemerintah Indonesia terus mempromosikan Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai strategi kunci untuk mengatasi ketimpangan gender dalam berbagai sektor pembangunan. Untuk mendukung strategi pengarusutamaan gender, pemerintah mengeluarkan berbagai regulasi dan produk hukum seperti Inpres No. 9/2000, Permendagri No. 15/2008, Permendagri No. 67/2011, serta UU No. 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025, yang memberi mandate kepada menteri-menteri dan instansi pemerintah untuk mengintegrasikan gender ke dalam semua rencana dan program-program pembangunan. Pada tahun 2012, terbit Surat Edaran Bersama antara 4 (empat) Kementerian, yakni Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasonal (PPN)/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA) Nomer 270/M.PPN/11/2012; Nomer SE-33/MK.02/2012; Nomer 050/4379A/SJ dan SE 46/MPP-PA/11/2012 tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG). Surat Edaran ini merupakan lanjutan komitmen Pemerintah Indonesia terhadap pengarusutamaan gender yang pernah dituangkan dalam Inpres Nomer 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam konteks desentralisasi, pemerintah telah mengeluarkan Permendagri No. 67 Tahun 2011, tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di daerah.

Pada tingkat sub-nasional instruksi-instruksi tersebut belum diimplementasikan secara keseluruhan. Pelaksanaan strategi pengarusutamaan gender (PUG) sangat bergantung pada pemahaman dan pengetahuan para pengambil kebijakan tentang status keadilan dan kesetaraan gender di wilayah masing-masing. Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender banyak provinsi dan kabupaten/kota yang sudah menerapkan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender, sudah banyak pula yang membentuk dan mengaktifkan Kelompok Kerja/Pokja PUG dalam mengumpulkan data terpilah, tetapi masih banyak juga yang baru melangkah pada tataran sosialisasi PUG.

 

Fenomena PPRG dan Permasalahannya

Beberapa waktu yang lalu penulis diminta menjadi narasumber pada rakor pimpinan Kepala OPD Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Bappeda se Jawa Timur yang dilaksanakan tanggal 22 Maret 2018 di Swiss Bellin Surabaya, setidaknya acara ini dinilai sebagai sebuah terobosan langkah positif dan inovatif yang dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Jawa Timur sebagaimana yang dikemukakan oleh Bu Ratna Asisten Deputi PUG Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia melalui wawancara dengan penulis tanggal 16 Maret 2018.

Dalam kesempatan tersebut penulis memaparkan ada beberapa potret pembangunan pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender di Jawa Timur [3]

Adpun diantaranya antara lain :

  1. Gagal paham soal gender

Masih dijumpainya ASN yang buta gender, bias gender bahkan netral gender. Buta gender disini dimaksudkan tidak memahami pengertian gender  dan permasalahan gender, sedangkan bias gender merupakan kondisi yang menguntungkan pada salah satu jenis kelamin yang berakibat munculnya permasalahan gender. Sedangkan netral gender adalah kondisi yang tidak memihak pada salah satu jenis kelamin

  1. Korban Mutasi

Focal point gender merupakan personil baru akibat rotasi, mutasi atau promosi sehingga tidak paham dan harus mulai dari nol lagi. Dokumen PPRG hilang saat mutasi atau filenya dibawa pejabat sebelumnya lebih parah lagi menjalankan tugas sekedar copy paste tanpa mengetahui ilmunya, PPRG selalu program dan kegiatan yang sama dari tahun ke tahun, stagnan tidak ada kenaikan alokasi PPRG. Selain itu dokumen PPRG hilang akibat kantor pindahan karena struktur organisasi yang baru. Beberapa penjelasan ini penulis terima saat melakukan audiensi DESK PPRG baik di Provinsi maupun di beberapa Kabupaten/Kota.

  1. Kebuntuan Informasi

Tidak ada tempat rujukan bagi para focal point gender untuk bertanya tentang bagaimana PPRG lebih khusus masih belum ada ajang share terkait baik medsos seperti WAG Focal Point. Hal yang lebih parah lagi tidak ada sinkronisasi dan koordinasi diantara tim driver PPRG itu sendiri, karena penjelasan antara yang satu dan yang lain tidak sama sehingga membuat bingung para focal point gender pada masing-masing OPD.

 

  1. Terbatasnya Forum Penguatan Focal Point Gender

Kurangnya pemahaman yang holistic tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) bagi para focal point gender dari masing-masing OPD. Ini disebabkan terbatasnya wadah sosialisasi, kalaupun ada pesertanya berganti ganti sehingga sasaran penguatan kapasitas tersebut tidak mengena. Jika dilihat dari pengembangan SDM ASN maka kita bisa melihat belum terintegrasi pengembangan SDM ASN terkait gender.

  1. Dokumen PPRG Sekedar Formalitas

Meskipun sudah terbentuk tim driver PPRG yang beranggotakan Bappeda, Dinas PPPA, Dinas Keuangan maupun inspektorat namun dalam prakteknya masih dijumpai belum terintegrasi dengan peran pengawasan, dimana pada saat pemeriksaan oleh auditor/petugas pemeriksa dari inspektorat tidak dijadikan bahan rujukan pemeriksaan sebagai dokumen PPRG. Selain itu pula dokumen PPRG sekedar kebutuhan saat DESK PPRG. Belum sepenuhnya menjadi muatan pemeriksaan inspektorat. Namun yang lebih parah lagi adalah dokumen PPRG hanya dipersiapkan untuk penilaian evaluasi penghargaan semisal untuk perolehan Anugerah Parahita Ekapraya.

  1. Permasalahan pada Diri ASN

Belum profesionalnya dalam menjalankan tugas sehingga kegiatan terkait gender dari tahun ke tahun hanya bersifat sosialisasi. Permasalahan selanjutnya beberapa pengambil kebijakan gagap teknologi (gaptek) dan mengandalkan peran staf padahal evaluasi kinerja pembangunan pemberdayaan perempuan, pengarusutamaan gender dan perlindungan anak sudah berbasis web on line bukan manual lagi. Selain itu pula beberapa kendala para pengambil kebijakan di Pemberdayaan Perempuan dihadapkan pada masalah sebentar lagi pension sehingga berpengaruh pada kinerja yang ogah-ogahan kurang semangat. Permasalahan liannya stake holder d bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak masih belum bisa menyatukan persepsi semua bidang dalam satu instansi akibat struktur baru.

  1. Orientasi pada Capaian Penghargaan

Forum-forum penguatan kapasitas tentang gender marak saat mendekati perlombaan sehingga ini masih sebatas tuntutan event dan bukan lagi sebagai kebutuhan yang memang keberadaannya semestinya sebagai bagian dari yang terintegral dari sebuah proses perencanaan.

  1. Tidak Tahu Landasan Hukum

Apa yang dilakukan sekedar menjalankan rutinitas. Adanya anggapan bagi stake holder di pemberdayaan perempuan dulu-dulunya ya seperti itu dan saat ditanya landasan hukum justru tidak paham.

Solusi Sebuah Harapan Baru

Beberapa permasalahan tersebut diatas setidaknya menjadi sebuah acuan bagaimana pelaksanaan PPRG yang ada di tingkat Provinsi maupun di Kabupaten/Kota. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah rekomendasi atau solusi yang jitu agar pelaksanaan PPRG bisa semakin optimal dan berdaya guna. Beberapa rekomendasi diantaranya dapat penulis sampaikan yaitu :

  1. Penguatan Kapasitas SDM Focal Point Gender

Penguatan kapasitas SDM focal point gender dapat dilakukan secara berkala mulai dari bimtek, workshop maupun capacity building yang membahas masalah ataupun issue actual terkait PUG. Selain itu kejelasan tugas pokok dan fungsi pada masing-masing focal point gender sebagai bagian dari pokja gender. Jika di Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mencetak para champions gender nasional maka di level provinsi, kabupaten/kotapun juga bisa demikian yaitu mencetak para champions gender daerah, dengan harapan semakin banyak para champions gender maka semakin banyak yang terpapar informasi dan siap menjadi agen perubahan di masing-masing institusi maupun OPDnya.

  1. Perlunya Kompetensi Teknis Manajerial bagi Pejabat Yang Terkait PPRG

Kurangnya pemahaman dan komitmen pejabat eselon 2 dan terutama eselon 3 mengenai PUG dan PPRG, sehingga kegiatan penyusunan Lembar ARG hanya diserahkan kepada 1-2 staf pelaksana.[4] Peningkatan kompetensi teknis manajerial dapat dilakukan dengan mengikutsertakan pejabat dimaksud dalam Diklat Teknis PPRG yang diselenggarakan oleh lembaga kediklatan. Badan Pendidikan Pelatihan Provinsi Jawa Timur salah satunya yang bisa memfasilitasi kegiatan Diklat Teknis dimaksud dengan membangun pola kemitraan maupun secara swadaya.

 

  1. Perlunya Knowledge Manajemen

Diperlukan wadah belajar dalam rangkaian knowledge manajemen dengan menggunakan media social seperti WAG maupun group-group diskusi dengan mengoptimalkan sub domain pada website OPD baik dilingkungan Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

  1. Dokumen PPRG Sebagai Salah Satu Bahan Rujukan Pemeriksaan

Adanya DESK PPRG yang learning produknya berupa dokumen PPRG dijadikan sebagai bahan rujukan pemeriksaan anggota tim driver yaitu inspektorat pada semua OPD. Selain itu capaian kenaikan dokumen yang harus di PPRGkan harus naik setiap tahunnya dan ini menjadi tugas Bappeda untuk menaikkan pagu prosentasi kenaikan dokumen PPRG dari pagu anggaran pada masing-masing OPD

  1. Ketersediaan Data Terpilah

Ketersediaan data terpilah pada masing-masing OPD sangat diperlukan mengingat keberadaannya sebagai data pembuka wawasan. Contohnya dalam kegiatan rapat atau sosialisasi apakah daftar hadir rapat sudah teridentifikasi terpilah (ada kolom daftar hadir terpilah) antara laki-laki dan perempuan. Selain itu pula data sasaran seperti jumlah ASN golongan dan jabatan eselon yang terpilah, begitu juga misalkan data Angka Partisipasi Sekolah terpilah laki-laki dan perempuan. Ketersediaan data terpilah di daerah secara global terwujudkan dalam profil gender, masalahnya juga tidak semua derah baik kabupaten/kota menyusun profil gender tersebut.

 

Kesimpulan

Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai strategi kunci untuk mengatasi ketimpangan gender dalam berbagai sektor pembangunan. Untuk mendukung strategi pengarusutamaan gender, pemerintah mengeluarkan berbagai regulasi dan produk hukum seperti Inpres No. 9/2000, Permendagri No. 15/2008, Permendagri No. 67/2011, serta UU No. 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025, yang memberi mandat kepada menteri-menteri dan instansi pemerintah untuk mengintegrasikan gender ke dalam semua rencana dan program-program pembangunan. Pada tahun 2012, terbit Surat Edaran Bersama antara 4 (empat) Kementerian, yakni Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasonal (PPN)/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA) Nomer 270/M.PPN/11/2012; Nomer SE-33/MK.02/2012; Nomer 050/4379A/SJ dan SE 46/MPP-PA/11/2012 tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG). Sebenarnya regulasi ini cukup efektif sebagai pijakan landasan hukum bagi pelaksanaan pembangunan PUG di daerah, hanya saja ini berpulang juga pada kapasitas SDM pelaksananya.

Selama ini penguatan kapasitas SDM Focal Point Gender misalnya hanya sebatas workshop maupun bimtek bahkan sosialisasi, padahal keberadaan focal point gender yang nota bene adalah pejabat perencanaan/sungram pada masing-masing OPD membutuhkan kompetensi teknis manajerial yang memadari terkait PPRG dan seluk beluk tentang issue gender yang ada pada masing-masing OPD. Tidak banyak mandate ini dilakukan oleh lembaga kediklatan baik level pusat maupun daerah, namun melalui Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur setidaknya diklat terkait kompetensi teknis manajerial tersebut bisa dieksekusi baik yang sepenuhnya dilakukan oleh APBD Provinsi Jawa Timur maupun membuka pola kemitraan bersama Kabupaten/Kota bahkan pola swadaya. Praktek baik dari pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui  Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur setidaknya bisa menjadi acuan bagi pengambil kebijakan di tingkat pusat khususnya di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia untuk lebih terbuka dalam membangun jejaring penguatan dan percepatan pembangunan pemberdayaan perempuan, pengarustumaan gender dan perlindungan anak, mengingat keberadaan Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur sudah berstatus BLUD.

 

[1]  Arie Cahyono, Buku Profil Perempuan Kabupaten Blitar Tahun 2015, Bappeda Kabupaten Blitar.

[2] Pedoman Teknis Penyusunan dan Analisis Data Terpilah Untuk PPRG di Daerah, Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD) & Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Republik Indonesia Tahun 2014.

[3] Arie Cahyono, 2018, Penguatan dan Pemahaman Indikator Pemantauan dan Evaluasi Pembangunan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Materi disampaikan pada saat rakor pimpinan Kepala OPD Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Bappeda se Jawa Timur yang dilaksanakan tanggal 22 Maret 2018 di Swiss Bellin Surabaya

[4] Surat Edaran Bersama antara 4 (empat) Kementerian, yakni Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasonal (PPN)/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA) Nomer 270/M.PPN/11/2012; Nomer SE-33/MK.02/2012; Nomer 050/4379A/SJ dan SE 46/MPP-PA/11/2012 tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG)